MENINGKATKAN
PERAN DAN KINERJA KOPERASI BELAJAR DARI PENGALAMAN DI NEGARA NEGARA EROPA
I.
Pendahuluan
Pendahulan
kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi
pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu
itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang
menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri.
Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh
kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu
ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan
perusahaan-perusahaan milik kapitalis. Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS
dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan
pada awal abad 20.Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi
di negara-negara maju seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi
perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur,
dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.Sejarah
kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara sedang
berkembang memang sangat diametral. Di negara maju koperasi lahir sebagai
gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan
berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu
koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan
ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang
mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam
rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di negara sedang berkembang koperasi
dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara
dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan
koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan
di negara sedang berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan
bangsa sendiri setelah kemerdekaan.sedangkan di indonesia Gagasan tentang koperasi telah dikenal di
Indonesia sejak akhir abad 19, dengan dibentuknya organisasi swadaya untuk
menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani yang kemudian dibantu
pengembangannya hingga akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Jadi, dapat
dikatakan bahwa pengembangan koperasi selanjutnya yang meluas keseluruh pelosok
tanah air lebih karena dorongan atau kebijakan pengembangan koperasi dari
pemerintah, bukan sepenuhnya inisiatif swasta seperti di negara maju; walaupun
di banyak daerah di Indonesia koperasi lahir oleh inisiatif sekelompok
masyarakat. Bung Hatta sendiri mulai
tertarik kepada sistem koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke
negara-negara Skandinavia, khususnya Denegara majuark, pada akhir tahun
1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga
tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi adalah sebuah
organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga
membedakan antara “koperasi sosial” yang berdasarkan asas gotong royong, dengan
“koperasi ekonomi” yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan
kompetitif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar
atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah
lembaga self-helplapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk
bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem
pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.
Tidak hanya di negara sedang berkembang yang pendapatan per
kapitanya rendah, tetapi juga di negara
maju yang pada umnya adalah ekonomi kapitalis seperti di Amerika Utara dan
Jepang atau yang semi kapitalis seperti di negara-negara Eropa Barat, khususnya
Skandinavia peran koperasi sangat penting. di tujuh negara Eropa menunjukkan
bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai
sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss.
Perkembangan koperasi yang sangat pesat di negara maju tersebut membuktikan
bahwa tidak ada suatu korelasi negatif antara masyarakat dan ekonomi modern dan
perkembangan koperasi. Dalam kata lain, koperasi tidak akan mati di
tengah-tengah masyarakat dan perekonomian yang modern, atau pengalaman tersebut
memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis.
Sebaliknya, koperasi-koperasi di negara maju selama ini tidak hanya mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga
menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa
yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
II.
Pembahasan
Koperasi di eropa
Di Eropa koperasi
tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga
disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan ritel, koperasi-koperasi
konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan ritel modern (Furlough
dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di negara-negara seperti Perancis,
Austria, Finlandia dan Siprus, menurut data ICA (1998a), pangsa pasar dari
bank-bank koperasi mencapai sekitar 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2
(dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole"
di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands. Kredit sebagai kebutuhan universal
bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen
dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah anggota potensial dari
koperasi kredit (Soetrisno, 2001). Suatu studi dari Eurostat (2001) di tujuh
negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan
kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen
di Swiss.
Di negara-negara
Skandinavia, koperasi menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu
sejarah yang sangat panjang. Di Norwegia, 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari
jumlah populasi 4,5 juta orang) adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi susu
bertanggung jawab untuk 99% dari produksi susu; koperasi-koperasi konsumen
memegang 25% dari pasar; koperasi-koperasi perikanan bertanggung jawab untuk
8,7% dari jumlah ekspor ikan; dan koperasi-koperasi kehutanan bertanggung jawab
untuk 76% dari produksi kayu. Di Finlandia, koperasi S-Group punya 1.468.572
anggota yang mewakili 62% dari jumlah rumah tangga di negara tersebut.
Grup-grup koperasi dari Pellervo bertanggung jawab untuk 74% dari produk-produk
daging, 96% dari produk-produk susu, 50% dari produksi telor, 34% dari
produk-produk kehutanan, dan menangani sekitar 34,2% dari jumlah deposito di
bank-bank di negara tersebut. Pada tahun 1995, dua koperasinya yang masuk di
dalam 20 koperasi pertanian terbesar di Uni Eropa (UE) adalah Metsaliitto
(kayu) dengan penghasilan 3.133 juta ecu dengan 117.783 anggota, dan Valio
(produk-produk susu) dengan penghasilan 1.397 juta ecu, 47 anggota dan 5.101
pekerja. Di Denmark, pada tahun 2004 koperasi-koperasi konsumen meguasai pasar
37% dan dua koperasi pertaniannya, yakni MD Foods (produk-produk susu) dan
Danish Crown (daging) masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE berdasarkan
nilai omset pada tahun 1995. Pada tahun itu, penghasilan MD Foods mencapai
1,681 miliar ecu dengan 8919 petani sebagai anggota dan mengerjakan 3678 orang,
sedangkan Danish Crown hampir mencapai 1,577 miliar ecu dengan 12560 orang
anggota dan 6965 pekerja. Di Sweden, koperasi-koperasi konsumen memegang 17,5%
dari pasar pada tahun 2004, dan pada tahun 1995 satu koperasi pertaniannya dari
subsektor susu masuk 20 besar di EU, yakni Arla dengan omset 1,369 miliar ecu,
anggota 10365 orang, dan mengerjakan 6020 orang. Di Jerman, sekitar 20 juta
orang (atau 1 dari 4 orang) adalah anggota koperasi, dan koperasi yang
jumlahnya mencapai 8106 unit telah memberikan kontribusi nyata bagi
perekonomian negara tersebut, diantaranya menciptakan kesempatankerja untuk 440
ribu orang.
Salah satu sektor
dimana koperasi sangat besar perannya adalah perbankan. Misalnya, bank koperasi
Raifaissen sangat maju dan penting peranannya, dengan kantor-kantor cabangnya
di kota maupun desa. Pada tahun 1995, ada dua koperasi dari Jerman yang masuk
20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Baywa (fungsi multi) dengan
penghasilan 3.542 juta ecu dan mengerjakan 10794 orang, dan RHG (fungsi multi)
dengan penghasilan 1.790 juta ecu, 260 anggota, dan 2.946 pekerja.
Di Inggris, diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota
koperasi, dan pertanian merupakan sektor di mana peran koperasi sangat besar.
Sektor lainnya adalah pariwisata. Biro perjalanan swasta terbesar di negara itu
adalah sebuah koperasi. Pada tahun 1995, Milk Marque, koperasi produk-produk
susu, masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, dengan omset mencapai
2.393.000.000 ecu, dengan jumlah anggota tercatat sebanyak 18 ribu orang dan
memberi kesempatan kerja ke 300 orang. Sedangkan di Irlandia, koperasi-koperasi
pertaniannya yang juga masuk di dalam kelompok besar tersebut adalah The Irish
Dairy Board (jumlah anggota: 71), Avonmore (13245), dan Kerry Group (6000) yang
semuanya di bidang produksi susu dengan omset antara 1.463,3 juta ecu hingga
1.523,3 juta ecu. Jumlah kesempatan kerja yang diciptakan oleh ketiga koperasi
susu tersebut mencapai antara 2010 hingga 6426 orang.
III.
Kesimpulan
Kondisi Koperasi di Indonesia (dengan sistem
Pancasila)
Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar
utama yang menyangga perekonomian. Ketiga pilar itu adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi
tersebut mempunyai peranan yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan
kapasitasnya. Dari ketiga pilar itu, koperasi, walau sering disebut sebagai
soko guru perekonomian, secara umum merupakan pilar ekonomi yang “jalannya
paling terseok” dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.
Padahal koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah
sesuai kedudukannya yang istimewa yaitu sebagai soko guru perekonomian. Ide
dasar pembentukan koperasi sering dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya
Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa
bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Tafsiran itu sering disebut sebagai perumus pasal tersebut. Kata azas
kekeluargaan ini, walau bisa diperdebatkan, sering dikaitkan dengan koperasi
sebab azas pelaksanaan usaha koperasi adalah juga kekeluargaan.
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM,
sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia
tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak
26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember
1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif
per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14%). Hingga tahun 2004 tercatat
130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat
tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada
138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit
dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Bagaimana prospek koperasi Indonesia ke depan? Untuk
menjawabnya, dua hal yang harus dilihat terlebih dahulu, yakni sejarah
keberadaan koperasi dan fungsi yang dijalankan oleh koperasi yang ada di
Indonesia selama ini. Dalam hal pertama itu, pertanyaannya adalah apakah
lahirnya koperasi di Indonesia didorong oleh motivasi seperti yang terjadi di
negara maju (khususnya di Eropa), yakni sebagai salah satu cara untuk
menghadapi mekanisme pasar yang tidak bekerja sempurna. Dalam hal kedua tersebut,
pertanyaannya adalah apakah koperasi berfungsi seperti halnya di negara maju
atau lebih sebagai “instrumen” pemerintah untuk tujuan-tujuan lain.
Gagasan tentang koperasi telah dikenal di Indonesia sejak
akhir abad 19, dengan dibentuknya organisasi swadaya untuk menanggulangi
kemiskinan di kalangan pegawai dan petani yang kemudian dibantu pengembangannya
hingga akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Jadi, dapat dikatakan bahwa
pengembangan koperasi selanjutnya yang meluas keseluruh pelosok tanah air lebih
karena dorongan atau kebijakan pengembangan koperasi dari pemerintah, bukan
sepenuhnya inisiatif swasta seperti di negara maju; walaupun di banyak daerah
di Indonesia koperasi lahir oleh inisiatif sekelompok masyarakat.
Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu
gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di
Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang
pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah
kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam
penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan
berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan
dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah
mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan
fungsi sebagai pengatur dan pengembang sekaligus.
Bung Hatta sendiri mulai tertarik kepada sistem koperasi
agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia,
khususnya Denegara majuark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering
mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun
persepsinya tentang koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang
berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara “koperasi sosial”
yang berdasarkan asas gotong royong, dengan “koperasi ekonomi” yang berdasarkan
asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif. Bagi Bung Hatta, koperasi
bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat
tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-helplapisan
masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena
itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan
prinsip efisiensi.
Namun, sejak diperkenalkan koperasi di Indonesia pada awal
abad 20, dan dalam perkembangannya hingga saat ini koperasi di Indonesia
mempunyai makna ganda yang sebenarnya bersifat ambivalent, yakni
koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus juga sebagai jiwa dan semangat
berusaha. Untuk pengertian yang pertama, koperasi sering dilihat sebagai salah
satu bentuk usaha yang bisa bergerak seperti bentuk usaha lainnya yang dikenal
di Indonesia seperti PT, CV, Firma, NV. Menurutnya, dalam kerangka seperti
inilah, koperasi sepertinya diperkenankan untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Karena pengertian inilah, pusat-pusat koperasi dan induk
koperasi dibentuk dengan tujuan agar dapat memperkuat eksistensi koperasi
primer.
Contohnya adalah dibentuknya PUSKUD (Pusat Koperasi Unit
Desa) dan INKUD (Induk Koperasi Unit Desa). Sedangkan dalam konteks makna kedua
tersebut, usaha yang dilakukan koperasi disusun berdasarkan atas azas
kebersamaan. Karena kebersamaannya ini, bentuk kepemilikan properti pada
koperasi yang “konservatif” sering tidak diwujudkan dalam bentuk kepemilikan
saham melainkan dalam wujud simpanan baik wajib maupun pokok dan sukarela,
iuran, sumbangan dan bentuk lainnya. Konsekuensi dari bentuk kepemilikan
seperti itu adalah sebutan kepemilikannya bukan sebagai pemegang saham
melainkan sebagai anggota. Oleh karenanya, koperasi sering dijadikan alat untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan para anggotanya atau untuk kesejahteraan
anggota.
Secara bisnis, sebenarnya makna ganda koperasi ini cukup
merepotkan. Karena koperasi diakui sebagai badan usaha, maka kiprah usaha
koperasi mestinya harus seperti badan usaha lainnya. Dalam artian ini, sebagai
sebuah badan usaha, koperasi mestinya mengejar profit sebesar-besarnya dengan
langkah-langkah dan perhitungan bisnis seperti yang biasa dilakukan oleh
perusahaan lainnya. Namun langkah bisnis ini sering “bertabrakan” dengan
keinginan anggotanya yakni menyejahterakan anggota. Sehingga dalam konteks ini,
penghitungan kelayakan usaha koperasi, jika hanya mengandalkan aspek
liquiditas, solvabilitas dan rentabilitas usaha, menjadi tidak tepat.
Mungkin perbedaan yang paling besar antara koperasi di
negara-negara lain, khususnya negara maju, dengan di Indonesia adalah bahwa
keberadaan dan peran dari koperasi di Indonesia tidak lepas dari ideologi
Pancasila dan UUD 45, yakni merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk
menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh
rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang
sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara (Hariyono, 2003). Konsukwensinya,
koperasi di Indonesia memiliki tanggung jawab sosial jauh lebih besar daripada
tanggung jawab “bisnis” yang menekankan pada efisiensi, produktivitas,
keuntungan dan daya saing, dan sangat dipengaruhi oleh politik negara atau
intervensi pemerintah dibandingkan koperasi di negara maju.
Sementara itu, ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia
adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu: (i) program pembangunan
secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii)
lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi
fungsional lainnya; dan (iii) perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta
(BUMS) dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas
kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Menurutnya, intervensi dari pemerintah yang terlalu besar
sebagai salah satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia.
Selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis
sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi
penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program
di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD.
Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan
pertanian untuk swasembada beras seperti yang dilakukan selama pembangunan
jangka panjang pertama pada era Orde Baru menjadi ciri yang menonjol dalam
politik pembangunan koperasi.
Sedangkan dilihat dari strukturnya, organisasi koperasi di
Indonesia mirip organisasi pemerintah/ lembaga kemasyarakatan yang terstruktur
dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang
efektifnya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak
jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan.
Fenomena ini sekarang ini harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis
yang berkembang sejalan dengan proses globalisasi dan liberalisasi perdagangan
dan ekonomi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai
diletakkan pada daerah otonom.
Faktor yang dapat Mempengaruhi Kemajuan Koperasi di
Indonesia
Pengembangan koperasi di Indonesia selama ini barulah
sebatas konsep yang indah, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Semakin
banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak pula yang tidak aktif. Bahkan ada
koperasi yang memiliki badan hukum, namun kehadirannya tidak membawa manfaat
sama sekali. Koperasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang dengan berpegang pada
tata kelola yang tradisonal dan tidak berorientasi pada pemuasan keperluan dan
keinginan konsumen. Koperasi perlu diarahkan pada prinsip pengelolaan secara
modern dan aplikatif terhadap perkembangan zaman yang semakin maju dan
tantangan yang semakin global.
Dari kemungkinan banyak faktor penyebab kurang baiknya
perkembangan koperasi di Indonesia selama ini, salah satunya yang paling serius
adalah masalah manajemen dan organisasi. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa
koperasi di Indonesia perlu mencontoh implementasi good corporate governance
(GCG) yang telah diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum
perseroan. Prinsip GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada
koperasi. Untuk itu, regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM
perlu memperkenalkan secara maksimal suatu konsep GCG atau tata kelola koperasi
yang baik.
Lebih rincinya konsep GCG sektor koperasi perlu dimodifikasi
sedemikian rupa untuk menjawab tantangan pengelolaan koperasi yang semakin
kompleks. Implementasi GCG perlu diarahkan untuk membangun kultur dan kesadaran
pihak-pihak dalam koperasi untuk senantiasa menyadari misi dan tanggung jawab
sosialnya, yaitu menyejahterakan anggotanya. Dalam mengimplementasikan
GCG, koperasi Indonesia perlu memastikan beberapa langkah strategis yang
memadai dalam implementasi GCG.
Pertama, koperasi perlu memastikan bahwa tujuan pendirian
koperasi benar-benar untuk menyejahterakan anggotanya. Pembangunan kesadaran
akan tujuan perlu dijabarkan dalam visi, misi dan program kerja yang sesuai.
Pembangunan kesadaran akan mencapai tujuan merupakan modal penting bagi
pengelolaan koperasi secara profesional, amanah, dan akuntabel. Ketidakamanahan
dari pengurus dan anggota akan membawa koperasi pada jurang kehancuran. Inilah
yang harus diperkecil dengan implementasi GCG.
Kedua, perbaikan secara menyeluruh. Kementerian Koperasi dan
UKM perlu menyiapkan blue print pengelolaan koperasi secara efektif dan
terencana. Blue print koperasi ini nantinya diharapkan akan menjadi
panduan bagi seluruh koperasi Indonesia dalam menjalankan kegiatan operasinya
secara profesional, efektif dan efisien. Ketiga, pembenahan kondisi internal
koperasi. Praktik-praktik operasional yang tidak efisien dan mengandung
kelemahan perlu dibenahi. Dominasi pengurus yang berlebihan dan tidak sesuai
dengan proporsinya perlu dibatasi dengan adanya peraturan yang menutup celah
penyimpangan koperasi.
IV.
Kesimpulan
Kegiatan
berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di
sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk
menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan
menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh
gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19
dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari
asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis.
Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di
Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.
FCG cocok dengan definisi dari suatu
generasi baru dari koperasi dalam banyak hal: (1) koperasi tersebut dimiliki
dan diawasi oleh pemakai (dengan pemberian suara berdasarkan jumlah susu yang
diserahkan bukan berdasarkan satu orang-satu suara); (2) keuntungan-keuntungan
dibagikan berdasarkan pemakaian; (3) FCG bukan sepenuhnya suatu koperasi
berdasarkan keanggotaan karena koperasi itu harus menerima pemasok-pemasok
baru; (4) FCG punya suatu hubungan kontraktual dengan produsen-produsennya yang
harus punya satu bagian dari stok susu FCG untuk setiap kilo dari susu yang
akan diserahkannya. faktor-faktor
kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat
(antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan
mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau
proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan;
(4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan
cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang
mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus
(jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).selain faktor-faktor di atas,
koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1)
memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara
efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date
kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3)
melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda
yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang
demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan
dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab
yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang
baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6)
mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7)
mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik
kepentingan.
V.
Daftar pustaka
http://saffie-myblog.blogspot.com/2013/01/meningkatkan-peran-dan-kinerja-koperasi.htmlhttp://yunitakusfiana29.blogspot.com/